KEMUDIAN ISTIQOMAHLAH
>> Jumat, 21 Januari 2011
Mengenal Istiqomah
Ditinjau dari segi asal katanya, istiqamah merupakan bentuk mashdar (baca: infinitif) dari kata istaqama yang berarti tegak dan lurus. Sedangkan dari segi istilah dan substansinya, istiqomah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini:
1. Abu Bakar As-Shiddiq ra, ketika ditanya tentang istiqomah, ia menjawab bahwa istiqomah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapapun).
2. Umar bin Khattab ra berkata: “Istiqomah adalah komitmen terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan musang.”
3. Utsman bin Affan ra berkata: “Istiqomah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt.”
4. Ali bin Abu Thalib ra berkata: “Istiqomah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban.”
5. Al-Hasan berkata: “Istiqomah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksitan.”
6. Mujahid berkata: “Istiqomah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah swt.”
7. Ibnu Taimiah berkata: “Mereka beristiqomah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menengok kiri-kanan.”
Jadi singkatnya, istiqomah adalah kokoh dalam aqidah dan konsisten dalam beribadah. Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasalam berpesan kepada seseorang seperti dalam hadits berikut:
YANG ARTINYA
Dari Abu Sufyan bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu berkata: Aku telah berkata, “wahai Rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu berkata (bertanya) pada orang lain selain engkau. Nabi menjawab,”Katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah.”
Orang yang istiqomah selalu kokoh dalam aqidah dan tidak goyang keimanan mereka dalam menghadapi tantangan hidup. Sekalipun dihadapkan pada tantangan hidup, ibadah tidak ikut redup. Mau kantong kering atau tebal, ia tetap memperhatikan haram halal. Dicaci ataupun dipuji, sujudnya pantang berhenti. Sekalipun memiliki fasilitas, tak tergoda kemaksiatan… sudah jelas.
Dari pertanyaan sahabat di atas, yaitu Sufyan bin Abdillah Al-Tsaqafi r.a. tersirat bahwa iman dan istiqamah memiliki urgensitas yang tidak dapat digantikan dengan nilai-nilai lainnya dalam kehidupan. Ini terlihat dari pertanyaan beliau kepada rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, katakanlah padaku satu perkataan yang aku tidak perlu lagi bertanya pada orang lain selain padamu.’ Kemudian rasulullah saw. menjawabnya dengan dua hal yang terangkai menjadi satu: istiqamah dan iman.
Dua hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam keislaman seseorang. Karena Iman (sebagaimana digambarkan di atas) merupakan pondasi keislaman seseorang bagaimanapun ia. Tanpa Iman semua amal manusia akan hilang sia-sia. Sehingga tidak mungkin istiqamah tegak tanpa adanya nilai-nilai keimanan
Jadi muslim yang beristiqomah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan aqidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang diembannya. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqomah dalam sepanjang jalan dan di seluruh tahapan-tahapan dakwah.
Namun, manusia tetaplah manusia. Orang yang istiqamah bukanlah yang selalu konsisten dalam kebenaran dan bukan tidak pernah sekalipun terjerumus dalam lubang kenistaan. Kendatipun takwanya ia, pasti pernah berbuat kekeliruan ataupun kesalahan. Oleh karenanya, untuk menjelaskan masalah ini, dalam salah satu ayat-Nya di dalam Al-Qur’an, Allah swt. menggandeng antara istiqamah dengan istighfar, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam QS. Fushilat/ 41 : 6 yang artinya : “Katakanlah: Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya).”
Ayat di atas menggambarkan, bahwa setiap insan pasti pernah melakukan satu kelalaian atau kesalahan, tanpa terkecuali siapapun dia. Oleh karenanya, seorang muslim yang baik adalah yang senantiasa introspeksi diri terhadap segala kekurangan dan kesalahan-kesalahannya, untuk kemudian berusaha memperbaikinya dengan terlebih dahulu beristighfar dan bertaubat memohon ampunan kepada Allah swt.
Terlebih ketika mengarungi jalan dakwah yang penuh lubang dan duri, serta masafah (baca : jarak tempuh) yang seolah bagaikan lautan tiada bertepi. Di sana banyak manusia-manusia yang beragam asal-usulnya, berbeda latar belakangnya: baik dalam keilmuan, pengalaman, cara pandang dan lain sebagainya. Tentulah hal ini memerlukan keistiqamahan dalam mengarunginya. Karena benturan, perbedaan ataupun kesilapan diantara sesama aktivis dakwah pasti terjadi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Semua anak cucu adam berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah mereka-mereka yang bertaubat.” (HR.Tirmidzi). Para ulama mengemukakan bahwa proses perbaikan diri dari kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat, adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari istiqomah itu sendiri.(Al-Bugha, 1993 : 175)
Cara untuk Merealisasikan Istiqamah
Setelah kita memahami mengenai istiqamah secara singkat, tinggallah kenyataan yang ada dalam diri kita semua. Yaitu, kita semua barangkali masih jauh dari sifat istiqamah ini. Kita masih belum mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata dengan berbagai dimensinya. Oleh karena itulah, perlu kiranya kita semua mencoba untuk merealisasikan sifat ini. Berikut adalah beberapa kiat dalam mewujudkan sikap istiqamah:
1. Mengikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah swt. Ketika beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah dan Allah. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.
2. Bertahap dalam beramal. Ibarat orang yang lari maraton 10 km, maka ia tidak boleh berlari sprint pada 100 m awal, kemudian setelah itu ia kelelahan. Dalam artian, ketika menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujud sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan.
3. Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersifat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Sebagai seorang insan terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.
4. Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i. Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengingatkan.
5. Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak akan pernah terwujud.
Demikianlah sedikit uraian mengenai istiqomah. Suatu hal yang sering terlupakan dalam kehidupan kita sebagai hamba, tapi sebenarnya berpengaruh sekali terhadap kelanggengan hubungan kita dengan Allah di dunia. Hal ini sangat diperlukan, terutama bagi “bekal” dari panjangnya perjalanan dakwah. Semoga hati tergerak dan mau mencoba mengamalkan. Karena tanpa mencoba, kita tidak akan pernah merasakan lezatnya. Bismillah….!
By. Ukhti Untsa
0 comments:
Posting Komentar